Tips Juara (#7): Menjadi Seperti Habibie (ada 6 sifat teladan)

Menjadi Seperti Habibie

Pembaca budiman, sudahkah anda menonton film Habibie & Ainun? Habibie adalah mantan Presiden ketiga Republik Indonesia yang hanya sempat menjabat sekitar 2 tahun kurang, setelah presiden sebelumnya, Bapak Suharto lengser ke prabon.

Habibie atau lengkapnya Baharuddin Jusuf Habibie (Rudy) adalah putra Indonesia yang sangat brilian, pintar dan pekerja keras. Amat disayangkan, bangsa ini telah menyia-nyiakan beliau sedangkan di Jerman beliau sangat dihormati, baik oleh kalangan perusahaan swasta maupun pemerintahan.

Saya berkesempatan berkunjung ke IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) pada saat menjadi mahasiswa baru di ITB tahun 1995. Kalau tidak salah, saat itu pesawat N250 Gatotkoco asli buatan bangsa Indonesia baru terbang perdana, dan sedang diproduksi beberapa unit untuk memenuhi pesanan dari Thailand dan Vietnam. Saya dan kawan-kawan mahasiswa baru diberi kesempatan memasuki ruang kabin prototip pesawat, melihat-lihat dan bahkan menduduki kursi pilot di ruang kokpit. Mencoba handle kemudi, tuas kendali dan pedal kaki untuk pengendalian macam-macam fungsi penerbangan. Kita harusnya bangga karena prestasi membuat pesawat terbang sendiri dapat mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional.

Baiklah, kita tidak mencoba membahas masalah politik dan krisis ekonomi yang membelit bangsa Indonesia tahun 1997-1998, yang mengakibatkan ditutupnya IPTN dan dihentikannya semua riset dan kegiatan memproduksi pesawat terbang. Kita akan membahas hal-hal positif yang dapat dicontoh dan diteladani dari Pak Habibie dalam hal mencapai prestasi dengan kerja keras.

1. Tipe Pekerja Keras

Habibie adalah pekerja keras dan pantang menyerah. Walaupun menghadapi banyak persoalan matematika yang rumit ketika kuliah untuk kelulusannya dari studi doktor (S3), tetapi tetap dapat menunjukkan prestasi (achievement) di bidang riset yang diikutinya di perusahaan. Pada bukunya, Habibie & Ainun, beliau menceritakan bahwa waktu 1 hari dibagi antara tugas di kampus, tugas di perusahaan, dan tugas lainnya sehingga baru pulang ke rumah tengah malam. Sering harus berjalan kaki karena sudah kehabisan bus.

2. Jujur

Habibie memegang teguh kejujuran baik selama studi, bekerja, sampai saat menjadi pejabat di republik ini. Ketika studi, beliau berterus terang kepada supervisornya, mengenai jadwal, assignment dan kegiatan bekerja. Termasuk saat mendapatkan tawaran pekerjaan yang menggiurkan, beliau tetap berkonsultasi dan meminta ijin dari supervisor beliau yang juga adalah atasan beliau di perusahaan yang membiayai riset pesawat terbang. Sampai menjadi pejabat di Indonesia pun, beliau menolak sogokan, gratifikasi, dan berbagai bentuk pelicin. Bandingkan dengan pegawai jaman sekarang, sulit mencari yang jujur seperti beliau.

3. Menyukai seni (otak kanan juga aktif)

Habibie juga suka mendengarkan musik, menyanyi bahkan menari (dansa). Di samping itu beliau juga suka drama seperti opera dan film. Kalau tidak suka, maka film Habibie & Ainun tidak mungkin ada, dan peran utamanya tidak akan sebagus itu. Ternyata Pak Habibie langsung mengawasi pembuatan film dan dialog yang dilakukan oleh Reza, pemeran Habibie dalam film tersebut.

4. Mencatat

Habibie selalu menyediakan buku catatan. Ke mana pun pergi, bahkan saat bertemu orang dan membuat janji, semua dicatat di dalam catatan. Apatah lagi kalau sedang kuliah atau belajar, tentu catatannya sangatlah banyak. Nah, bagaimana dengan siswa jaman sekarang? Saya geleng-geleng kepala kalau mengajar kuliah, karena mahasiswa tidak punya buku catatan. Kalau catatan saja tidak punya, apalagi buku cetak atau text book. Begitu ujian, kertas jawaban kosong melompong, sehingga gampang sekali menuliskan nilainya. Pada saat nilai akhir sudah dikeluarkan, mahasiswa ybs datang mengemis belas kasihan agar nilainya dinaikkan. Minta tugas lah, buat makalah lah, dll. Sungguh ironi.

5. Berani Bersuara

Habibie tidak sungkan apalagi minder saat harus mempresentasikan teori, konsep, simulasi maupun hasil kalkulasinya, walaupun belum dapat dibuktikan dalam situasi real. Berani bersuara, atau berbicara, tentu saja didukung oleh rasa percaya diri yang kuat. Kepercayaan diri tersebut tumbuh dari banyaknya latihan dan membaca, sehingga inti permasalahan dan solusi menjadi sangat dipahami, sampai seluk beluk yang sedetil mungkin.

6. Berlatih

Habibie rajin berlatih, baik itu melatih daya pikir (otak) maupun fisik (otot) dengan berolah raga. Melatih daya pikir dengan belajar tidak usah ditanya, sudah itulah pekerjaannya sehari-hari, sebagai pemikir. Melatih fisik dengan olah raga, juga rajin dilakukan Pak Habibie. Saya masih ingat pada saat krisis moneter tahun 1998, beliau menjabat Presiden RI. Tidur hanya 2 jam sehari, namun tetap segar bugar. Hal ini karena beliau setiap malam selalu menyempatkan diri berenang, sehingga tubuh menjadi kuat.  Jadi kalau mau kuat fisik dan otak, kuncinya adalah berlatih, berlatih, berlatih.

Nah, semua yang telah diuraikan di atas, adalah 6 poin Tips Juara yang sudah saya tuliskan dalam posting sebelumnya.Silakan dibuka kembali linknya.

Semoga bermanfaat.

Low-profile Philosophy Doctor

Malam ini ada jamuan makan malam oleh dosen saya di salah satu tempat makan tradisional sunda yang enak di Depok. Beliau mengundang kolega dari Norwegia, kemudian beberapa rekan beliau waktu masih kuliah S3 di Jepang, dan seorang mahasiswa alumni S1 di bawah bimbingan beliau, yang sebentar lagi akan berangkat pula ke Jepang untuk S3 (program integrated doctor 5 tahun, S2 included).

Saya terkesan dengan salah seorang kolega beliau, wanita Indonesia lulusan Jepang, kemudian Post-doctoral di Jerman, dan sekarang kembali ke Indonesia menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di wilayah Banten.

Impressed on what?
Ya, dengan sopannya beliau mengambilkan nasi dari bakul ke piring kami semua. Suatu kehormatan ‘dilayani’ oleh seorang Post Doc. Bicaranya pun sopan, lemah lembut, bahasa yang sangat sopan dan ditata dengan baik, bahkan lebih baku dari bahasa yang dipakai para presenter berita. Wah….

Tidak ada arogansi sama sekali, padahal sudah sempat mengalami sekolah post doc pula, mungkin sebentar lagi profesor, kalau kum-nya diurus dan mencukupi.

Kami berkumpul di sini, dalam rangka ramah-tamah sebelum acara seminar yang digagas oleh dosen saya tersebut, untuk dilaksanakan di kampus tempat saya bekerja. Pembicara utama (keynote speaker)-nya adalah profesor dari Norwegia tersebut, yang kebetulan pernah bertemu sekali dengan sang Post Doc, waktu sama-sama mengorganisasi acara konferensi somewhere di Eropa.

Kiranya benar kata pepatah bijak dari orang tua kita: Ibarat ilmu padi, makin berisi makin merunduk.
Sang Low-profile Ph.D telah menunjukkan kepada saya makna pepatah tersebut di dunia nyata.

Tambahan artikel (ditulis di Jepang, 18 September 2016):

Saat saya searching lagi di internet, nama sang PostDoc, ternyata sudah tidak lagi bertugas di Indonesia. Sudah beberapa tahun ini beliau berada di negara lain, salah satu negara di Eropa sebagai senior researcher.

Sayang sekali ya, banyak orang hebat di Indonesia pindah ke luar negeri atau memilih berkarir di luar negeri setelah lulus, karena di Indonesia kurang berkembang, kuran diperhatikan, kurang didukung atau kurang sejahtera.

Padahal penghasilan di kampus swasta tersebut, saya yakin jauh lebih besar dari pendapatan rata-rata dosen kampus negeri di Indonesia. Kalau profesi dosen dan guru tidak lebih berharga dari politikus, dokter, engineer, mungkin masih akan lama negara kita mengejar ketertinggalan dari bangsa lain yang sudah maju.

Oya,… hampir lupa, teman alumni S1 UI yang melanjutkan integrated Doctor ke Jepang tersebut di atas, saat posting ini diperbaharui, sudah lulus doktor dan akhirnya bekerja di Jepang. Ia juga memilih tidak pulang ke Indonesia. Saya sempat bertemu karena satu almamater, Tokyo Institute of Technology.